TEATER MUSIMAN

Kelompok teater di Indonesia seolah hidup di siklus musim. Pementasan pada umumnya dilakukan ketika festival teater saja. Itu seolah menjadi takdir yang sulit dirubah. Bila festival sedang berjalan, maka banyak kelompok teater mendapatkan tenaga tambahan tiba-tiba. Latihan pun digeber sampai pagi. Sudah tentu besoknya akan bangun siang. Maklum tak lagi kuliah atau sedang cuti kerja.

Bagi kelompok teater yang sudah agak dikenal, beda lagi caranya mengikrarkan keberadaan kelompoknya. Pementasan digelar sambil berharap berkah suntikan dana dari kedutaan negara-negara sahabat. Tanpa sadar kelompok seperti ini mengikrarkan diri sebagai kelompok yang hidup di negara miskin. Miris.

Sungguh diuntung memang. Kedutaan-kedutaan, terutama di Jakarta, memiliki agenda untuk memperkenalkan seniman negerinya. Mereka kadang-kadang mendanai grup teater atau pribadi untuk mementaskan naskah dari negara bersangkutan. Atau menggelar festival naskah teater seniman A, misalnya. Sudah tentu dengan bantuan pendanaan.

Entah karena alasan ini, pemerintah menjadi punya argumen menghindar dari usaha pengembangan teater di republik ini. “Kalau kedutaan alias negara lain mendanai pementasan teater di Indonesia, lalu untuk apa lagi dibantu? Mending dana dipakai untuk mengatasi bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.” Kira- kira begitu mungkin kesimpulannya. Jadi protes para seniman yang merasa dianaktirikan menjadi omong kosong. Sudah dibantu negara lain kok?

Kondisi ini menciptakan ritme kerja teater yang mutakhir. Inilah teater musiman, teater yang ‘hidup’ di festival dan sokongan kedutaan. Beberapa grup teater terjebak dalam pola ini. Berpentas ketika festival atau atas undangan kedutaan. Jika dua peristiwa itu tidak ada, maka saatnya masuk proses hibernasi. Ironis.

Meski hanya beberapa grup yang melakukan proses kreatif musiman, terasa menjadi signifikan bila dibandingkan dengan grup teater yang masih aktif berpentas hingga sekarang. Nah, kalau kelompok yang sudah berumur saja melakukan pola itu, bagaimana dengan teater sekolah dan kampus? Ya, mampus.

Teater yang bernaung dalam institusi pendidikan juga setali tiga uang. Kelompok-kelompok teater marak ketika berlangsung hajatan festival teater sekolah dan kampus. Kalau pesta usai, ya hibernasi juga.

Mungkin perlu sejenak melihat ke belakang, supaya berani bertindak lain. Mengambil pelajaran ketika ritual agama atau adat, yang menjadi cikal bakal teater modern, masih berlangsung.

Berbicara tentang ritual, berarti tersirat kebutuhan pribadi di sana ketika melakukannya. Upacara tidak semata-mata demi kepentingan pemimpin agama dan kepala suku. Umat atau insan masyarakat sendiri membutuhkan upacara tersebut. Keterlibatan dalam upacara didorong oleh kebutuhan personal, bukan situasional.

Bila memang tidak ada sokongan perhatian dari pemerintah, teater itu bisa berkembang sendiri. Dengan catatan, pementasan dilakukan karena kebutuhan berbuat dan berucap, mewujudkan perasaan terima kasih kepada alam.

Perasaan saya, permintaan sokongan dari kedutaan negara sahabat ini akan sementara saja. Yah, sekedar intermezzo. Toh ke depan akan berjalan sendiri. Pada akhirnya setiap pekan akan ada pementasan teater di Taman Ismail Marzuki, Graha Bhakti Budaya dan Teater Kecil-nya. Gedung Kesenian Jakarta tidak perlu lagi diplesetkan menjadi Gedung Konser Jakarta karena lebih sering dimanfaatkan grup musik, dimana direkturnya yang mahir piano sering ikut mengiringi pengisi acara.

Mari menjadi teater yang bisa hidup di segala musim, tidak lagi hanya musim-musim tertentu! Mari berbuat demi rasa terima kasih terhadap alam. Salam.

Gading Serpong, 16 September 2009