TASRI WIJAYA DAN SERIBU NAMA

15/03/2011

(Wafat 1 Januari 2011)
Oleh: Paulus Simangunsong

Berita kelabu membuka tahun baru. “Telah meninggal seorang sederhana hari ini”, tertulis di SMS yang masuk ke telepon selulerku. Tak percaya! Itulah reaksi pertama yang muncul. Nama itu terlalu cepat pergi. Dia belum menikmati hasil perjuangannya selama puluhan tahun di dunia teater.

Dia adalah Tasri Wijaya. Nama yang mungkin bukanlah siapa-siapa bagi sebagian besar orang. Di tingkat regional saja dia bukan siapa-siapa, apalagi di kalangan seniman tingkat nasional. Bagimana kalau khusus di kalangan teater?

Beberapa orang mungkin kenal. Di kalangan kelompok teater Koma beliau tidak terlalu menonjol. Sepanjang berproses dengannya, aku mengamati kalau ia tidak tenggelam dalam nafsu ingin menonjol dari aktor-aktris muda. Dia tidak ingin mendominasi dalam lingkungannya. Dia lebih sering menikmati proses latihan dari sudut ruangan sanggar yang tidak mendapatkan cahaya lampu cukup. Dia mengamati dari tempat remang.

Atau, kalau proses produksi tidak terlalu membutuhkan sumbangsih tenaganya, ia bahkan tidak menampakkan wajah. Atau mungkin, ia hanya dipanggil ketika dibutuhkan? Ketika produksi set panggung perlu efek lampu khusus, dan terutama ketika pertunjukan butuh efek ledakan yang menjadi spesialisasinya?

Aku hanya bertemu dengannya sesekali. Pertemuan itu sering membawa kami pada diskusi seputar proses dalam dunia kesenian. Aku yang muda lebih sering mendengar keluhannya. Namun beberapa kesempatan ia bercerita juga tentang kesibukannya sehari-hari.

Dari cerita-ceritanya, aku menyimpulkan, dia bukan siapa-siapa di kalangan seniman Indonesia. Jangankan di kalangan seniman, di sanggar teater Koma pun dia mungkin hanya sekedar bayang-bayang, yang dilibatkan hanya ketika dibutuhkan. Sebab kalau sedang tidak dibutuhkan, dia akan tenggelam di bawah topi butut dan rutinitas kebersahajaan hidupnya.

Dari buku-buku acara pertunjukan teater Koma, aku menemukan beberap versi nama beliau. Tasri Wijaya, Tasri Oktavinta, dan Nasri Wijaya. Mungkin masih ada beberapa nama yang luput dari pengamatan. Tasri Wijaya seolah butuh ‘seribu nama’ untuk menunjukkan eksistensi dan menunjukkan bahwa beliu ada!

Tasri Wijaya dengan ‘seribu nama’ yang melekat padanya telah tiga puluh tahun lebih bergabung di teater Koma. Bahkan sudah terlibat di produksi perdana, Rumah Kertas, meski tidak termasuk dalam angkatan pendiri.

Tasri Wijaya ‘seribu nama’ seolah juga mewakili seribu nama lain di dunia kesenian, khususnya teater. Seribu nama yang hidup dalam kebersahajaan, kadang atau bahkan sangat sering terabaikan. Detik demi detik kehidupan diberikan untuk berjuang di dunia teater. Tapi pelaku-pelaku teater yang sudah mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik, seolah melupakan teman-temannya semasa perjuangan di tahun-tahun awal. Alhasil, ribuan nama masih tetap berjuang dalam kebersahajaan sepanjang hidupnya.

Dia mungkin sama seperti seribu nama lain yang bergelut dalam kesenian teater. Lupa atau mungkin dipaksa lupa oleh kondisi perteateran. Lupa pada kebutuhannya di masa depan, pada keluarga, pada anak maupun cucu. Beliau yang mewakili seribu nama lain mungkin terlalu fokus atau dipaksa fokus pada proses berteater sehingga lupa pada kehidupan sosial.

Dia, Tasri Wijaya ‘seribu nama’seolah mewakili seribu nama lain dalam dunia teater. Datang bersahaja, pergi bersahaja juga ketika menghadap pemilik seluruh nama di dunia. Selamat jalan Mas Tasri! Temukan bahagiamu di sana!

2 Januari 2011

BUKAN CARI MAKAN DARI SANDIWARA

20/08/2010

(Sandiwara Penggemar Maya)
Oleh: Paulus Simangunsong

Ketika penjajahan Jepang, Usmar Ismail, kakaknya Dr. Abu Hanifah (El Hakim), Rosihan Anwar, mendirikan kelompok Sandiwara Penggemar Maya. Saat itu beliau karyawan bagian Sandiwara Pusat Kebudayaan Jepang. Tadinya nama kelompok ini adalah Sandiwara “Amateur” Maya. Karena segala hal yang berbau Belanda tidak boleh, maka kata itu diganti menjadi Penggemar. Maksud dari Amateur adalah anggota grup tidak cari makan dari sandiwara.

Pada jaman penjajahan Belanda, hanya sekitar 5% rakyat Indonesia yang bisa baca-tulis. Keturunan bangsawan dan anak orang berada-lah yang bisa mencapai pendidikan tinggi. Kelak, selulus dari Padang, Usmar Ismail sekolah setingkat SMA ke Yogyakarta. Bisa diduga betapa ekonomi bukanlah masalah baginya, apalagi kakaknya adalah seorang dokter.

Ketika Jepang masuk, seluruh kegiatan kesenian diarahkan untuk propaganda. Bila tidak mau kompromi, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada seniman tersebut. Sang seniman akan kesulitan berpentas bahkan hingga di penjara.

Seluruh studio film pun ditutup Jepang. Kegiatan sandiwara yang sempat mati karena seluruh pendukungnya eksodus ke film, subur kembali. Sepanjang sejarahnya, para anggota kelompok sandiwara menggantungkan hidup dari kegiatan panggung. Ini terjadi karena di luar film dan sandiwara mereka tidak bisa, akibat tidak punya latar belakang pendidikan memadai. Banyak dari antara mereka tidak tahu baca tulis. Mereka berpentas berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, memboyong keluarganya. Setiap anggota paguyuban hidup dan menuruti kehendak pimpinan kelompok.

Usmar Ismail dan Sanggar Penggemar Maya-nya, mencoba memberi pemahaman baru bagi masyarakat bahwa sandiwara bisa dimasuki kaum cerdik-cendikia, dan tidak harus menjadi sumber penghasilan. Tokoh-tokoh yang bergabung di Sanggar Penggemar Maya adalah orang berpendidikan dan mampu secara ekonomi. Diantaranya, HB. Jassin dan Cornel Simanjuntak. Tidak heran, proses berkesenian seperti ini bisa mereka lakukan.

Jadi, kalau ada seseorang mengungkapan, “bukan cari makan dari sandiwara”, kita perlu lihat siapa dan bagaimana dia.

Gading Serpong, 20 Agustus 2010

JALAN SETAPAK DI DUNIA TEATER

08/07/2010

Oleh: Paulus Simangunsong

Segelintir praktisi teater sukses jadi selebritis di dunia hiburan tanah air. Sebutlah Ratna Riantiarno yang bermain di film yang disutradarai Riri Riza berjudul Petualangan Sherina dan Opera Jakarta arahan sutradara kondang Sjuman Djaya. Dia juga laris berperan sebagai ibu dalam berbagai judul sinetron.

Jajang Pamontjak (setelah menikah dengan Arifin C. Noer menjadi Jajang C. Noer) juga tak kalah populer. Dari dunia teater dia berkibar di jagad hiburan, baik layar perak maupun layar kaca. Bermain film antara lain Bibir Mer, Arisan, Eliana-Eliana, dan Laskar Pelangi.

Ada pula Butet Kartaredjasa yang populer lewat kepiawaiannya menirukan suara mantan presiden Suharto. Beliau sangat laris di film dan talkshow-talkshow yang mengkritisi perkembangan sosial dan politik mutakhir di Indonesia. Sebelumnya ada Didi Petet yang melejit namanya lewat film Catatan si Boy.

Tidak ketinggalan pula aktor panggung jebolan Festival Teater Remaja Jakarta periode 1970-an, Deddy Mizwar. Beliau melambung namanya ketika memerankan Jendral Nagabonar dalam film Nagabonar. Di kemudian hari Deddy Mizwar juga menjadi sutradara. Film yang dia arahkan antara lain, Nagabonar Jadi Dua, Alangkah Lucunya Negeri Ini. Juga sinetron Lorong Waktu, Sang Pengembara, dan Kiamat Sudah Dekat.

Kelima tokoh di atas, Ratna Riantiarno, Jajang C. Noer, Butet Kartaredjasa, Didi Petet, dan Deddy Mizwar berkutat dulu di dunia teater yang konon tidak punya masa depan. Itu sebabnya zaman-zaman itu, atau bahkan sampai sekarang, dunia teater merupakan momok menakutkan bagi masyarakat. Sedikit sekali orangtua yang membiarkan anaknya berkecimpung di dunia teater. Stigma buruk begitu melekat sehingga sempat keluar perkataan “pantas saja seniman itu berantakan, urakan, cakar-cakaran, karena Taman Ismail Marzuki itu bekas kebun binatang.

Sangat sulit memilih jalan hidup sebagai pekerja teater. Atau kalau pun punya keinginan, akan ada tentangan dari orangtua apalagi calon mertua. Jalan menjadi populer sangat sempit, bahkan boleh dibilang hanya berupa jalan setapak, yang dikiri-kanannya menjulur alang-alang dan tunas-tunasnya siap menusuk. Ranting-ranting kering pepoponan berjatuhan pun intai menumbuk.

Lalu, ketika orang-orang masuk ke dunia teater karena keinginan murni, ini sungguh patut dihargai dengan memberikan mereka prioritas untuk melintas menggunakan jalan setapak. Bukannya justru membuka jalan setapak baru yang di ujungnya buntu, namun menyuruh mereka mengambil jalur itu. Sementara jalur setapak yang umum dipakai para teaterawan dikooptasi untuk kepentingan kerabat entah itu suami, istri, keponakan, sepupu, atau bahkan anak.

Keadaan ekonomi memang susah. Maka itu banyak orang tidak memilih teater sebagai profesi, apalagi teater memang belum layak disebut sebagai lahan profesi. “Teater itu adalah jalan hidup”, kata sebagian orang. Nah! Jadi kalau ada petualang yang gagal bersaing di sektor formal, ‘ujug-ujug’ berkecimpung di dunia teater karena punya hubungan kekerabatan dengan tokoh-tokoh teater, siap-siap saja menjadi catatan kelam teater modern Indonesia. Bukan hanya si petualang tadi, tapi juga tokoh yang memberikan jalur khusus di jalan setapak itu.

Ketika slogan-slogan “teater bukan tempat cari makan” muncul dari para pekerja teater, mustinya bisa dijaga bersama-sama. Artinya, prioritas untuk menggunakan jalan setapak di dunia teater itu diprioritaskan kepada talenta-talenta berbakat yang malang melintang di panggung teater, entah sebagai pemain, penulis, tim produksi, atau sutradara. Ini kudu, kalau teater ingin difungsikan sebagai alat kontrol sosial! Bagaimana mau menjadi alat kontrol sosial, kalau di internal teater sendiri belum berkeadilan sosial?

Ada kecenderungan, belakangan ini pekerja-pekerja teater mengkaderisasi penggantinya bukan dari anggota komunitas yang bersama-sama memajukan kelompoknya, tapi justru dari keluarga dekatnya. Mungkin mereka terinspirasi Rhoma Irama yang mendongkrak Ridho Irama. Saya tidak perlu tuliskan namanya karena kita bisa lacak bersama-sama. Itu bisa pula kita tilik akarnya sejak tahun 1970-an atau bahkan jauh sebelumnya, ketika masih berjayanya Srimulat tahun-tahun awal, Riboet Orion, Stamboel, dan Dewi Dja.

Mantan presiden Suharto, di ujung pemerintahannya, mengangkat Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) sebagai menteri. Tak pelak ini menjadi peluru tajam. Padahal Tutut tidak bodoh. Buktinya dia bisa bertahan di dunia bisnis hingga sekarang.

Rakyat melihat ada ketidakwajaran ketika seorang presiden mengangkat puterinya menjadi menteri. Bisa ditebak akan banyak kepentingan bermain dalam kondisi seperti ini. Nah, kalau para pekerja teater meniru apa yang dilakukan Suharto, maka yang akan terjadi ke depan juga mungkin akan mirip seperti yang dialaminya. Jatuh!

Kampung Utan, 17 Juni 2010

NEGARA (IMAJINER) TEATER

07/04/2010

(Melihat Teater, Melihat Indonesia)

Berdirinya suatu negara terdiri dari beberapa ketentuan. Pertama, harus memiliki wilayah. Kedua, memiliki pemerintahan. Dan yang ketiga, memiliki rakyat. Berikutnya adalah mendapat pengakuan dari negara lain, ini bisa diperjuangkan kemudian. Dengan adanya kententuan-ketentuan tadi, layaklah negara tersebut disebut berdaulat.

Meminjam ketentuan-ketentuan tadi, saya hendak berandai-andai mendirikan negara imajiner. (Bukan makar lho!)

Syarat pertama, negara teater punya sanggar dan gedung pertunjukan sebagai wilayah. Syarat kedua, kepala pemerintahan dipimpin oleh sutradara. Dia akan dibantu pimpinan produksi, manajer panggung, penata artistik, dan jabatan-jabatan lain di bawahnya. Para pembantu ini juga sekaligus berperan sebagai rakyat. Lalu syarat yang ketiga? Aktor dan aktris atau “anak wayang” diumpamakan sebagai rakyat. Layaklah sudah berdiri sebuah negara (imajiner) teater.

Lalu bagaimana caranya memberitahukan kedaulatan suatu negara? Tidak ada jalan lain kecuali dengan berpentas. Pementasan di tempat pertunjukan adalah sarana untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara (imajiner) teater lain.

Ambil contoh, negara teater sudah berdiri dan berdaulat. Punya presiden dan para pembantu, punya wilayah, punya rakyat, dan sudah mendapatkan pengakuan. Lalu apa tujuan negara berikutnya?

Mencapai kesejahteraan masyarakat. Itulah tujuan negara berikutnya. Indonesia, sampai sekarang, bahkan sampai nanti, akan berupaya mencapai kesejahteraan rakyatnya. Sehingga tidak ada lagi anak-anak putus sekolah, pengangguran, tuna wisma dan tuna yang lainnya, dan kelaparan . Proses untuk mencapai kesejahteraan terus dilakukan dengan berbagai cara. Menambang sumber daya mineral, pemanfaatan hutan, ekspor, dan penarikan pajak.

Di negara teater, pendapatan yang akan dipakai untuk mensejahterakan rakyat negara teater diperoleh dari penjualan tiket, sumbangan sponsor, penyewaan kostum dan properti, menjadi konsultan dan penyedia jasa pertunjukan, dan banyak hal lain. Lalu pajak untuk membiayai pemerintahan ditagih ke siapa? Tetap ke rakyat “anak wayang” tapi mereka membayar lewat jasa tenaga. Misalnya dengan mengepel tempat latihan, berlatih, dan membuat segala keperluan panggung. Lah, kok gampang banget? Ya, namanya juga negara imajiner. Nanti kalau ditagih uang betulan, bayar pakai apa? Ongkos pulang saja susah.

Usaha negara teater berproduksi tahun demi tahun sudah mematrikan bahwa negara (imajiner) itu benar-benar ada. Bahkan di Indonesia melahirkan enam tokoh yang mendapat pengakuan di negara imajiner maupun negara sebenarnya. Mereka adalah, WS. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Teguh Karya, N. Riantiarno, dan Suyatna Anirun. Dan kalau negara (imajiner) modern teater Indonesia dimulai tahun 1926, ketika Rustam Efendy menuliskan naskah Bebasari, maka usia negara (imajiner) kita sudah lebih dari 80 tahun. Bukankah itu usia yang paripurna untuk mulai memikirkan kesejahteraan rakyatnya?

Kalau memang sekarang ini waktunya untuk memulai, lalu siapa yang harus memulai? Pemimpin (sutradara) atau rakyat (anak wayang)?

(Karena saat ini sedang membicarakan negar imajiner, maka saya akan mengambil peran wakil rakyat imajiner, yang tugasnya omong tok.)

Sudah tentu, masing-masing punya peran dan tanggung jawab. Pimpinan menggariskan kebijakan, rakyat mengikuti kebijakan dan akan menikmati hasil pencapainnya.

Di negara teater, sutradara memiliki peran sentral. Ini karena negara yang saya angankan ini sistem pemerintahannya masih berbau feodal. Jadi sutradara punya peran yang sangat dominan. Segala kebijakan bersumber darinya. Jadi sah-sah saja kalau ia memutuskan pembantunya berasal dari keluarga dekat. Untuk tahap awal ini negara teater berbentuk kerajaan mungkin lebih cocok. Seiring waktu akan berproses menjadi negara (imajiner) demokrasi teater. Ya, seperti Indonesia sekarang ini, dari kerajaan-kerajaan berproses menjadi negara demokrasi.

Salah satu cara untuk menggaungkan masih bergulirnya pemerintahan negeri teater adalah dengan berproduksi. Bahkan pada tahap tertentu produksi dilakukan paralel. Segala tenaga dicurahkan mati-matian hanya untuk negara semata. Sebagai imbalan untuk usaha mati-matian ini, sudahkah usaha untuk mencapai rakyat yang sejahtera itu dimulai? Mungkin masih perlu ditunggu buktinya. Toh proses berproduksi masih dan akan berlangsung.

Lalu untuk produksi berikutnya, siapa yang akan memimpin? Tetap saja sutradara yang sama. Lalu, pembantunya? Tetap saja keluarga dekat dulu. Pemeran utamanya? Putera mahkota juga boleh. Pimpinan produksinya? Permaisuri dan selir bertandem dengan putera mahkota juga tidak apa-apa. Kan, masih tahap negara kerajaan (imajiner) teater, belum demokrasi? He he he…

Kampung Utan, 29 Maret 2010

TEATER BUKAN JALAN PINTAS

24/03/2010

Selama sepuluh tahun, Budi Ros, berkutat dalam hiruk pikuk perteateran. Beliau tinggal di sanggar Teater Koma, berproses sebagai ‘anak wayang’ teater modern.

Ia berperan macam-macam di atas panggung maupun di luar panggung. Menjual tiket, mengepel sanggar, membuat properti, dan lain sebagainya. Selama itu pula, ia hanya memainkan peran-peran yang biasa saja.

Peran sebagai Semar dalam lakon Semar Gugat menabalkan dirinya sebagai aktor yang layak diperhitungan. Lima tahun kemudian, dia mendapatkan kesempatan menjadi sutradara di Teater Koma. Mementaskan naskahnya sendiri pula. Naskah berjudul Festival Topeng itu sebelumnya mendapat penghargaan lomba naskah Dewan kesenian Jakarta.

Lima belas tahun belajar teater baru jadi sutradara. Lama sekali? Ya. Memang sangat lama.

Akhirnya Budi Ros dikenal publik. Namun lewat jalan pelik. Tidak dengan jalan pintas yang lurus. Mendapatkan popularitas yang berkualitas sungguh tidak gampang. Prosesnya panjang. Tinggal di sanggar, mengerjakan kegiatan pra hinga paska produksi. Semua itu dia lakukan dalam proses menjadi aktor betulan.

Tidak main-main memang. Setiap hari adalah belajar. Teater itu tidak mengenal kata berhenti belajar. Setiap tahapan produksi adalah ajang belajar. Meski berulang-ulang melakukan, tetap saja butuh belajar. Setiap produksi pasti punya karakteristik dan rumus tersendiri. Jadi tidak bisa seperti kunci Inggris yang dapat digunakan untuk membuka berbagai ukuran baut. Boleh dibilang, produksi baru adalah pelajaran baru.

Belajar. Kata itu pula yang menjadi kata kunci untuk menjawab, kenapa sesudah tenar sebagai aktor panggung, masih juga hidup bersahaja? “Teater itu tempat belajar, bukan tempat cari uang”, kata sebagian orang. Lalu, kalau ada segelintir orang yang kemudian meninggalkan sejenak kehidupan anak wayang, demi lepas dari kebersahajaan, tindakannya bisa dimaklumi?

Mungkin timbul iri hati kepada orang yang baru belajar teater di bawah lima tahun, dapat kesempatan jadi presenter, lalu hanya dalam setahun, dia sudah bisa membeli rumah untuk orangtuanya. Atau kita malah marah, sebal, kesal, mengumpat, karena dia meninggalkan proses berteater?

Semua memang akan kembali kepada hati nurani. Kondisi ekonomi kadang mampu membelokkan suara hati nurani. Tapi, apakah mampu membeli rumah untuk orangtua menistakan suara hati? Kalau saya yang ditanya, jawaban saya adalah, “Saya tidak akan marah dan memaklumi apa yang dia lakukan. ” Kenapa?

Bayangkan, berapa banyak aktor-aktris panggung yang mengabdi di dunia panggung lebih dari sepuluh tahun? Bahkan sampai empat puluh tahun. Tapi coba kita amati. Berapa banyak dari mereka masih harus naik turun angkutan kota ke tempat latihan? Berapa banyak yang masih pusing dengan uang kontrakan rumah petak, biaya sekolah anak, dan uang jajan cucu? Sementara seseorang yang masuk ke dunia televisi, meski ilmu panggungnya cuma seujung kuku, tidak pusing lagi akan tempat berteduh dan jaminan hidup ke depan. Atau, itukah ketidakberpihakan nasib?

Mungkin. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin orang panggung yang kudu berusaha ekstra lagi. Kasihan memang. Sudah capek, harus lebih capek lagi. Tapi kalau tidak mau? Kalau tidak mau maka selamanya akan terpuruk dan berputar-putar di lingkaran kebersahajaan.

Saya pribadi menyarankan untuk berjuang terus. Sudah kepalang tanggung. Sudah kepalang capek. Paksakan saja. Dan jangan mau dan merasa terlambat mencoba keberuntungan di layar kaca. Karena mungkin saja, suatu saat nanti, dengan sedikit keberuntungan, kita tak lagi menyesali hidup di dunia panggung. Kita tidak akan lagi memaki-maki diri dan sekeliling kita yang mempengaruhi hingga menjadi fanatik berteater. Kalau tidak sekarang memulai, kapan lagi? Ayo, mumpung masih ada waktu.

Saatnya berusaha mencapai kenikmatan latihan di teater tanpa dipusingkan, besok makan apa, atau uang transport besok ngutang dari mana. Atau, besok angkutan kota mogok tidak ya? Karena kalau mogok, tidak ada alternatif kendaraan ke tempat latihan.

Berteater memang bukan jalan pintas. Hampir lima jam setiap hari latihan dihabiskan di sanggar. Besok paginya harus memeras keringat mencari uang. Kalau orang lain bisa tidur enak, aktor panggung masih latihan. Bisa dipastikan prestasi di tempat kerja akan pas-pasan. Wajar. Manusia tidak bisa melawan aturan alam. Manusia punya batas daya tahan. Dan ini kembali menegaskan, teater memang sungguh-sungguh bukan jalan pintas!

Berteater butuh tenaga ekstra. Tapi kalau ada kesempatan mendapat uang, kenapa tidak kita coba. Dan kalau tidak ada tawaran datang, mengapa tidak kita datangi saja calon-calon peluang itu? Ya, lagi-lagi bukan jalan pintas. Harus tebal muka bersaing dengan orang yang belum pernah apa-apa di dunia panggung. Memang bukan jalan pintas kan? Pilih bersahaja atau menahan malu?

Gading Serpong, 4 Januari 2009

Teater, Rame-rame Kere

28/12/2009

“Berteater berarti siap miskin.” Itu mungkin kalimat yang pertama kali kita dengar ketika akan ikrar masuk kelompok teater di Indonesia. Atau ketika kita berbincang-bincang dengan pekerja kantoran, kalimat itu juga yang akan terucap. Ya, memang begitu. Kehidupan aktor panggung di Indonesia bukanlah pilihan bagi sebagian orang. Terutama orangtua yang menginginkan anaknya menjadi pekerja berpenghasilan tetap.

Kelompok teater profesional di Indonesia, teater Koma misalnya, hanya berproduksi setahun sekali. Maksimal tiga kali kalau dipaksakan. Latihan satu judul naskah membutuhkan waktu sekitar 3 hingga 6 bulan. Bisa dihitung sendiri pengeluaran yang dibutuhkan untuk latihan, konsumsi, dan transportasi. Belum lagi ketika hari H. Sewa gedung, tata cahaya, tata suara, semuanya memerlukan biaya besar. Masih syukur kalau ada sisa untuk dibagikan sebagai ‘uang permen’ kepada pendukung pementasan. Saya sebut uang permen karena sama sekali tidak menutupi pengeluaran pribadi sepanjang proses latihan. Guyonan pun muncul dari kondisi miris ini. Berteater seperti latihan menjadi kere.

Mahasiswa yang sudah ‘terjebak’ masuk jurusan teater mencari cara untuk lepas dari kutuk kere aktor teater. Mereka mencoba peruntungan di dunia layar lebar dan layar kaca. Begitu punya peruntungan sekali, kuliah teater pun ditinggalkan. Bekal ilmu yang tanggung dipakai sampai tua.

Akhirnya, dunia pertunjukan Indonesia dipenuhi aktor-aktor berilmu tanggung. Uniknya, di lokasi shooting kadang-kadang mereka akan bertemu dengan dosen atau bahkan dekan bekas kampusnya. Dekan, dosen, dan mahasiswa sama-sama berusaha lepas dari kutukan kere. Lalu timbul pertanyaan, siapa yang tinggal di kampus?

Meski stigma bahwa berteater berarti siap miskin, peminat yang masuk kelompok teater tidaklah berkurang. Setiap tahun tetap ada yang memilih jurusan teater atau mendaftar menjadi anggota teater profesional.

Khusus teater profesional, belakangan ini didominasi peminat perempuan. Fenomena ini juga terjadi pada kelompok-kelompok teater sekolah dan kampus. Padahal selama ini porsi peran perempuan terbatas jumlahnya dalam naskah-naskah teater di Indonesia. Penulis naskah harus menyesuaikan diri dengan kondisi ini.

Upaya untuk membuat aktor bisa hidup dari teater perlu didukung sepenuhnya. Dengan begitu daya cipta kreatif tidak lagi semata-mata demi perut, tetapi untuk kehidupan itu sendiri. Namun jangan juga teater itu menjadi ladang jual beli. Kesenian, utamanya teater harus tetap menjadi sarana untuk berterimakasih kepada alam. Teater menjadi alat kontrol sosial sekaligus hiburan yang mendidik.

Transformasi dari pelaku-pelaku teater juga diperlukan demi merubah stigma yang selama ini melekat. Ke depannya, pelaku-pelaku teater bukan lagi mahasiswa-mahasiswa drop out atau masyarakat yang tidak punya pekerjaan. Penggiat teater perlu belajar pada bidang kesenian lain, musik misalnya. Bidang kesenian ini sudah memiliki penggiat yang bergelar doktor. Untuk bidang teter memang sudah ada yang bergelar master tapi pada akhirnya memilih untuk membuka kelas akting yang muridnya artis dan calon artis. Ya, memang pada akhirnya perlu dimaklumi bahwa hal itu dilakukan untuk lepas dari kutukan kere perteateran.

Teater harus memperbaiki dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa membantu selain dirinya sendiri. Dukungan dari pemerintah sudah kita tahu porsinya. Kondisi perkembangan teater memang membutuhkan daya juang lebih. Namun ini akan membentuk pelaku-pelaku di dalamnya menjadi mandiri. Kita bisa berkaca pada Butet Kertaradjasa. Meski sibuk dengan usahanya lepas dari kutukan kere teater, beliau tetap terlibat dalam pentas teater Gandrik yang sudah membesarkan namanya. Butet tetap berteater meski laris sebagai pengamen di televisi dan film.

Kutukan kere itu ternyata bisa dihilangkan. Tinggal usaha dari pelaku teater itu sendiri. Apalagi upaya itu dilakukan bersama-sama. Masing-masing kelompok teater saling mendukung usaha perkembangan anak-anak teaternya. Atau kampus-kampus kesenian menuntun mahasiswanya untuk menyelesaikan pendidikannya. Sehingga tercipta aktor-aktor yang bisa mempertanggungjawabkan ilmunya. Sehingga suatu saat acara televisi tidak lagi hanya dihibur oleh kelompok musik, menyanyi, dan sulap. Tapi juga oleh monolog dan pementasan pendek yang bermutu. Siapa tahu? Meski tidak gampang, namun hal itu mungkin. Dan itulah cikal bakal ladang pekerjaan para aktor panggung teater.

Saatnya pelaku teater melepaskan kutukan hidup kere. Dan upaya itu dimulai dari sekarang. Ya, sekarang!

BSD, 28 September 2009

Sebelum Tirai Merah Menggulung

15/12/2009

Gong kedua baru ditabuh. Para pemeran bersiap diri di sisi panggung. Lima menit lagi gong ketiga berbunyi. Tirai merah akan terbuka menandai saatnya muncul di hadapan penonton. Saat-saat ini selalu menggetarkan hati para aktor pemula. Tak hanya pemula, aktor hebat juga mengalami hal yang sama. “Kalau tidak ada ‘degdegan’ berarti ada yang salah dengan diri kita”, ujar sebagian aktor. “Perasaan takut itu justru energi yang teramat besar yang harus dimanfaatkan. Keadaan takut menandakan kita menaruh perhatian penuh kepada pertunjukan.”

Demikian, telah berpuluh gong kesatu, kedua, dan ketiga telah berlalu dari kehidupan aktor-aktor hebat. Pertunjukan demi pertunjukan menempa mereka menjadi hebat. Hingga suatu saat, tiba waktunya mereka menjadi guru, tempat digugu, tempat ditiru, dan tempat bertanya segala sesuatu tentang keaktoran. Bertanya tentang seluk-beluk misteri panggung, manfaat pencahayaan, kenapa belakang panggung lebih tinggi dibanding bagian depan, dan banyak lagi. Termasuk juga apa gunanya tata rias dan kostum. Pertanyaan yang mungkin membosankan adalah: “Apa gunanya pemanasan?”

Aktor-aktor ‘matang’ yang sabar akan menjawab dengan jelas pertanyaan-pertanyaan itu satu demi satu. Mungkin juga menuliskannya di dalam buku atau koran harian ibukota. Aktor muda yang rajin akan mendapat bocoran ilmu tersebut. Namun bagi yang malas, mereka harus puas dengan apa yang didapatnya di lingkungan berlatih. Beruntung kalau lingkungannya berlatih memiliki guru yang betul-betul aktor matang.

Melihat perkembangan keaktoran sekarang ini, kita perlu menduga bahwa masih kurang banyak aktor-aktor ‘matang’ yang sabar, dan tekun menurunkan ilmunya ke lingkungan sekitar. Mau bukti?

Tidak perlu melihat festival teater yang menampilkan pertujukan penuh teriakan-teriakan dan muka berkerut. Tonton saja siaran televisi! Setiap hari sinetron menampilkan akting yang membuat kita harus mengurut dada. ‘Trenyuh.’

Jelas ini bukan salah mereka yang hanya bermodal tampang. Stok aktor bagus tidak sanggup mengimbangi pesatnya perkembangan industri sinetron dan layar lebar. Aktor-aktris nekat ini kesulitan mendapatkan pelatihan yang benar. Kalau pun ada, pelatih aktingnya mengajarkan kemampuan mengencangkan muka dan memelototkan mata. Hasilnya? Sinetron penuh dengan muka kencang dan mata melotot.

Teguh Karya, Suyatna Anirun, Arifin C. Noer, yang teranyar WS. Rendra, mungkin sudah tiada. Tidak adakah penerus yang mewarisi keahlian maestro ini? Teater Indonesia masih memiliki Putu Wijaya dan N. Riantiarno. Mungkin beliau-beliau ini terlalu repot dengan kelompoknya teater Mandiri dan teater Koma. Tapi kalau bukan kepada beliau berdua dan pewaris ilmu teater dari empat maestro yang lain, kemana lagi mencari ilmu keaktoran yang benar?

Taman Ismail Marzuki sudah puluhan tahun berdiri. Tidak bisakah kita mengurangi penampilan aktor memberat-beratkan suara hanya untuk menunjukkan peran yang bijaksana? Akting yang betul-betul palsu.

Gong tiga sudah ditabuh dan tirai merah terbuka. Para pemain masuk panggung satu demi satu. Di bawah sorotan lampu, dibungkus kostum dan tata rias, mereka memainkan peran masing-masing. Tak ada tepuk tangan, tak ada air mata sepanjang pementasan karena penonton memang tidak ada. Sampai tirai merah akan tertutup, penonton tetap tidak ada.

Sebelum tirai merah tertutup, dalam hati mereka berharap, aktor-aktor hebat akan turun gunung. Mengajari mereka cara berdiri dan berlaku di atas panggung. Memberitahu bentuk akting yang wajar dan meyakinkan. Mereka menunggu, masih menunggu sebelum tirai merah menggulung.

Kampung Utan, 21 September 2009

TEATER MUSIMAN

26/11/2009

Kelompok teater di Indonesia seolah hidup di siklus musim. Pementasan pada umumnya dilakukan ketika festival teater saja. Itu seolah menjadi takdir yang sulit dirubah. Bila festival sedang berjalan, maka banyak kelompok teater mendapatkan tenaga tambahan tiba-tiba. Latihan pun digeber sampai pagi. Sudah tentu besoknya akan bangun siang. Maklum tak lagi kuliah atau sedang cuti kerja.

Bagi kelompok teater yang sudah agak dikenal, beda lagi caranya mengikrarkan keberadaan kelompoknya. Pementasan digelar sambil berharap berkah suntikan dana dari kedutaan negara-negara sahabat. Tanpa sadar kelompok seperti ini mengikrarkan diri sebagai kelompok yang hidup di negara miskin. Miris.

Sungguh diuntung memang. Kedutaan-kedutaan, terutama di Jakarta, memiliki agenda untuk memperkenalkan seniman negerinya. Mereka kadang-kadang mendanai grup teater atau pribadi untuk mementaskan naskah dari negara bersangkutan. Atau menggelar festival naskah teater seniman A, misalnya. Sudah tentu dengan bantuan pendanaan.

Entah karena alasan ini, pemerintah menjadi punya argumen menghindar dari usaha pengembangan teater di republik ini. “Kalau kedutaan alias negara lain mendanai pementasan teater di Indonesia, lalu untuk apa lagi dibantu? Mending dana dipakai untuk mengatasi bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.” Kira- kira begitu mungkin kesimpulannya. Jadi protes para seniman yang merasa dianaktirikan menjadi omong kosong. Sudah dibantu negara lain kok?

Kondisi ini menciptakan ritme kerja teater yang mutakhir. Inilah teater musiman, teater yang ‘hidup’ di festival dan sokongan kedutaan. Beberapa grup teater terjebak dalam pola ini. Berpentas ketika festival atau atas undangan kedutaan. Jika dua peristiwa itu tidak ada, maka saatnya masuk proses hibernasi. Ironis.

Meski hanya beberapa grup yang melakukan proses kreatif musiman, terasa menjadi signifikan bila dibandingkan dengan grup teater yang masih aktif berpentas hingga sekarang. Nah, kalau kelompok yang sudah berumur saja melakukan pola itu, bagaimana dengan teater sekolah dan kampus? Ya, mampus.

Teater yang bernaung dalam institusi pendidikan juga setali tiga uang. Kelompok-kelompok teater marak ketika berlangsung hajatan festival teater sekolah dan kampus. Kalau pesta usai, ya hibernasi juga.

Mungkin perlu sejenak melihat ke belakang, supaya berani bertindak lain. Mengambil pelajaran ketika ritual agama atau adat, yang menjadi cikal bakal teater modern, masih berlangsung.

Berbicara tentang ritual, berarti tersirat kebutuhan pribadi di sana ketika melakukannya. Upacara tidak semata-mata demi kepentingan pemimpin agama dan kepala suku. Umat atau insan masyarakat sendiri membutuhkan upacara tersebut. Keterlibatan dalam upacara didorong oleh kebutuhan personal, bukan situasional.

Bila memang tidak ada sokongan perhatian dari pemerintah, teater itu bisa berkembang sendiri. Dengan catatan, pementasan dilakukan karena kebutuhan berbuat dan berucap, mewujudkan perasaan terima kasih kepada alam.

Perasaan saya, permintaan sokongan dari kedutaan negara sahabat ini akan sementara saja. Yah, sekedar intermezzo. Toh ke depan akan berjalan sendiri. Pada akhirnya setiap pekan akan ada pementasan teater di Taman Ismail Marzuki, Graha Bhakti Budaya dan Teater Kecil-nya. Gedung Kesenian Jakarta tidak perlu lagi diplesetkan menjadi Gedung Konser Jakarta karena lebih sering dimanfaatkan grup musik, dimana direkturnya yang mahir piano sering ikut mengiringi pengisi acara.

Mari menjadi teater yang bisa hidup di segala musim, tidak lagi hanya musim-musim tertentu! Mari berbuat demi rasa terima kasih terhadap alam. Salam.

Gading Serpong, 16 September 2009

“MERAMAL” TEATER INDONESIA

25/11/2009

Jangan tertipu! Saya bukanlah peramal jitu. Tidak juga berniat menambah iklan peramal di televisi. Saya hanya mengajak Anda berandai-andai menjadi peramal. Kita meramal arah teater Indonesia.

Sebelum melihat masa depan, kita terawang dulu masa lalu. Membuka, membaca, atau sambil mengenang masa pertumbuhan awal teater Indonesia. Siapa tahu ketemu tanda-tanda masa depan teater Indonesia.

Empu teater ada enam orang. Teguh Karya, WS. Rendra, N. Riantiarno, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, dan Suyatna Anirun. Dari kelompok yang mereka dirikan, kelak lahir tokoh teater penerus . Siapa saja mereka? Itu juga akan kita ramal.

Tiga dari empu itu punya pendidikan formal teater.Teguh Karya dan N. Riantiarno alumni ATNI, Akademi Teater Nasional Indonesia. Yang pertama dosen dan yang kedua mahasiswa. Saat itu, ATNI mempengaruhi seniman-seniman daerah hijrah ke Jakarta. N. Riantiarno salah satunya. Beliau nekat ke Ibukota demi kuliah di ATNI. Teguh Karya kelak mendirikan teater Populer, N. Riantiarno mendirikan teater Koma.

Putu Wijaya yang kelak mendirikan teater Mandiri, juga mengecap pendidikan formal teater. Selain kuliah hukum di UGM, ia menempuh pendidikan di ASDRAFI, Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta.

Tiga empu lain, WS. Rendra, Arifin C. Noer, dan Suyatna Anirun, pendidikannya bukanlah teater. Mereka teaterawan otodidak. Ilmu didapatkan dari kelompok teater yang mereka dirikan. WS. Rendra mendirikan Bengkel, Arifin C. Noer membesarkan teater Kecil, dan Suyatna Anirun memekarkan Studiklub Teater Bandung (STB). Perlu dicatat bahwa Putu dan Arifin pernah berguru pada Rendra.

Separuh dari enam teaterawan ini otodidak.

Melihat persentase ini, apakah sampai sekarang para teaterawan otodidak dan formal punya ‘bunyi’ yang seimbang?

Belakangan ini, kalau boleh mengambil contoh, calon potensial justru tidak berpendidikan formal teater. Gaung teater Garasi sudah terdengar di Amerika dan Eropa. Mayoritas anggotanya bukanlah alumnus jurusan Teater. Teater Satu Lampung dan kelompok teater di daerah pun demikian.

Melihat umur dan jumlah kampus kesenian, terutama yang membuka jurusan teater, mestinya sudah lahir tokoh jagad teater Indonesia. Berapakah tokoh dari STSI Bandung, STSI Solo, STSI Padang, dan di Jakarta ada IKJ? Bukankah teori dan bentuk teater Indonesia mestinya lahir dari rahim ini? Di kampus inilah ‘kitab suci’ teater Indonesia berada? Dalam terawangan saya bolak-balik yang muncul aktor Iman Soleh.

Maraknya kelompok teater di kampus non kesenian, teater lingkungan, pengajarnya didominasi trah otodidak. Sudah waktunya kaum bergelar turun gunung ke masyarakat. Mau tidak mau, teaterawan otodidak butuh akademisi yang betul-betul mengerti dunia teater. Sebagai cerdik pandai berdiri menjadi proklamator teater Indonesia ke luar negeri lewat buku-buku, kajian ilmiah, dan pagelaran tentu saja.

Mencermati belum ‘bergizi’ dan bersinerginya kaum akademisi dan otodidak, saya sudah meramal arah perkembangan teater di Indonesia. Mudah-mudahan terawangan kita tidak sama. Amin!

Gading Serpong, 10 September 2009