(Wafat 1 Januari 2011)
Oleh: Paulus Simangunsong
Berita kelabu membuka tahun baru. “Telah meninggal seorang sederhana hari ini”, tertulis di SMS yang masuk ke telepon selulerku. Tak percaya! Itulah reaksi pertama yang muncul. Nama itu terlalu cepat pergi. Dia belum menikmati hasil perjuangannya selama puluhan tahun di dunia teater.
Dia adalah Tasri Wijaya. Nama yang mungkin bukanlah siapa-siapa bagi sebagian besar orang. Di tingkat regional saja dia bukan siapa-siapa, apalagi di kalangan seniman tingkat nasional. Bagimana kalau khusus di kalangan teater?
Beberapa orang mungkin kenal. Di kalangan kelompok teater Koma beliau tidak terlalu menonjol. Sepanjang berproses dengannya, aku mengamati kalau ia tidak tenggelam dalam nafsu ingin menonjol dari aktor-aktris muda. Dia tidak ingin mendominasi dalam lingkungannya. Dia lebih sering menikmati proses latihan dari sudut ruangan sanggar yang tidak mendapatkan cahaya lampu cukup. Dia mengamati dari tempat remang.
Atau, kalau proses produksi tidak terlalu membutuhkan sumbangsih tenaganya, ia bahkan tidak menampakkan wajah. Atau mungkin, ia hanya dipanggil ketika dibutuhkan? Ketika produksi set panggung perlu efek lampu khusus, dan terutama ketika pertunjukan butuh efek ledakan yang menjadi spesialisasinya?
Aku hanya bertemu dengannya sesekali. Pertemuan itu sering membawa kami pada diskusi seputar proses dalam dunia kesenian. Aku yang muda lebih sering mendengar keluhannya. Namun beberapa kesempatan ia bercerita juga tentang kesibukannya sehari-hari.
Dari cerita-ceritanya, aku menyimpulkan, dia bukan siapa-siapa di kalangan seniman Indonesia. Jangankan di kalangan seniman, di sanggar teater Koma pun dia mungkin hanya sekedar bayang-bayang, yang dilibatkan hanya ketika dibutuhkan. Sebab kalau sedang tidak dibutuhkan, dia akan tenggelam di bawah topi butut dan rutinitas kebersahajaan hidupnya.
Dari buku-buku acara pertunjukan teater Koma, aku menemukan beberap versi nama beliau. Tasri Wijaya, Tasri Oktavinta, dan Nasri Wijaya. Mungkin masih ada beberapa nama yang luput dari pengamatan. Tasri Wijaya seolah butuh ‘seribu nama’ untuk menunjukkan eksistensi dan menunjukkan bahwa beliu ada!
Tasri Wijaya dengan ‘seribu nama’ yang melekat padanya telah tiga puluh tahun lebih bergabung di teater Koma. Bahkan sudah terlibat di produksi perdana, Rumah Kertas, meski tidak termasuk dalam angkatan pendiri.
Tasri Wijaya ‘seribu nama’ seolah juga mewakili seribu nama lain di dunia kesenian, khususnya teater. Seribu nama yang hidup dalam kebersahajaan, kadang atau bahkan sangat sering terabaikan. Detik demi detik kehidupan diberikan untuk berjuang di dunia teater. Tapi pelaku-pelaku teater yang sudah mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik, seolah melupakan teman-temannya semasa perjuangan di tahun-tahun awal. Alhasil, ribuan nama masih tetap berjuang dalam kebersahajaan sepanjang hidupnya.
Dia mungkin sama seperti seribu nama lain yang bergelut dalam kesenian teater. Lupa atau mungkin dipaksa lupa oleh kondisi perteateran. Lupa pada kebutuhannya di masa depan, pada keluarga, pada anak maupun cucu. Beliau yang mewakili seribu nama lain mungkin terlalu fokus atau dipaksa fokus pada proses berteater sehingga lupa pada kehidupan sosial.
Dia, Tasri Wijaya ‘seribu nama’seolah mewakili seribu nama lain dalam dunia teater. Datang bersahaja, pergi bersahaja juga ketika menghadap pemilik seluruh nama di dunia. Selamat jalan Mas Tasri! Temukan bahagiamu di sana!
2 Januari 2011